Entri Populer

Rabu, 04 Januari 2012

laporan praktikum TPTU


LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK UNGGAS

Mata Kuliah             : Teknologi Produksi Ternak Unggas
Dosen Pembimbing : Maria Ulfah S.Pt., MSc.
                                   Eka Koswara S.Pt.
Tempat                     : Laboratorium Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan,  IPB



PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP DAYA TETAS TELUR

Ady Fendy U.             D14120035
Aditya Dharmawan    D24120065
Taufik Hidayat            D14135010
Suhartiti                      D14135009
Rahma Febriana          D24135004
Rifa Afifah                 D14120004
Audina Putri               D14135003

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggunaan mesin tetas sudah umum dan banyak digunakan serta mudah diperoleh di beberapa tempat yang menyediakannya, bahkan masyarakat umum bisa membuat sendiri, meski demikian banyak kasus yang dijumpai pada saat proses penetasan dilakukan itu tidak sempurna. Salah satu penyebab hal ini adalah faktor pengaturan kelembaban relatif dan suhu ruang mesin tetas yang mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas telur tetas. Apabila kelembaban relatif (RH) dan suhu terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi perkembangan embrio didalam telur dan laju perubahan air didalam telur selama inkubasi bisa dikontrol melalui pengaturan kelembaban relatif didalam mesin tetas.
Unggas merupakan ternak bersayap dari kelas aves yang telah didomestikasikan. Unggas termasuk salah satu ternak yang dapat dimanfaatkan daging, telur, dan hasil ikutan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Unggas khususnya ayam dibagi menjadi dua, yaitu ayam pedaging dan ayam petelur. Ayam pedaging (broiler) dipelihara dengan tujuan memproduksi daging sedangkan ayam petelur (layer) untuk memproduksi telur. Telur tidak semuanya dikonsumsi, karena telur merupakan bakalan atau calon dari penerus unggas itu sendiri. Selain dikonsumsi, telur tersebut juga harus melalui proses penetasan agar individu baru muncul dan spesies unggas tidak punah.
Telur tetas dan telur konsumsi memang memiliki perbedaan. Telur konsumsi biasanya telur yang dihasilkan oleh ayam layer dan telur tersebut tidak dibuahi oleh ayam jantan. Sedangkan telur tetas merupakan telur yang diperoleh dari ayam betina yang sebelumnya telah dikawini oleh ayam jantan. Salah satu jenis unggas yang dapat menghasilkan telur setiap hari yang telah kita kenal adalah ayam kampung. Penetasan telur ayam kampung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penetasan telur dengan induk dan menggunakan mesin penetas atau inkubator. Menetaskan telur berarti mengeramkan telur agar menetas dengan tanda kerabang telur terbuka atau pecah sehingga anak dapat keluar dan hidup. Penetasan secara alami melalui induk kurang efektif dan efisien karena terbatasnya telur yang dapat ditetaskan dalam waktu tertentu.
Penetasan pada prinsipnya adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio unggas. Lama penetasan telur ditempat pengeraman sangat tergantung dari jenis hewannya. Semakin kecil hewan, semakin kecil telur yang dihasilkan. Dan, semakin tinggi suhu badan hewan, semakin pendek waktu penetasan telurnya. Bila bentuk telur dan ukurannya seragam, waktu penetasan akan selalu hampir bersamaan.  Berbeda dengan ayam, jenis unggas lain seperti itik dan puyuh tidak mempunyai sifat mengeram. Dahulu, untuk memperbanyak populasinya hanya dengan seleksi alam, baik oleh induknya maupun oleh lingkungan. Namun saat ini, dengan adanya alat penetas buatan akan mempermudah perbanyakan populasi unggas ini.
Pada prinsipnya penetasan telur dengan mesin tetas adalah mengkondisikan telur sama seperti telur yang dierami oleh induknya. Baik itu suhu, kelembaban dan juga posisi telur. Dalam proses penetasan dengan menggunakan mesin tetas memiliki kelebihan di banding dengan penetasan secara alami, yaitu : dapat dilakukan sewaktu-waktu, dapat dilakukan dengan jumlah telur yang banyak, menghasilkan anak dalam jumlah banyak dalam waktu bersamaan, dapat dilakukan pengawasan dan seleksi pada telur. Hal-hal yang mendukung keberhasilan dari penetasan dengan mesin tetas antara lain adalah telur tetas itu sendiri harus telur yang fertil yaitu telur dari betina yang di kawini pejantan, suhu dan kelembaban mesin tetas harus tetap diperhatikan, sirkulasi udara dalam mesin tetas tetap lancar, pemutaran telur dan juga candling yaitu peneropongan telur selama proses penetasan sehingga dapat diketahui pertumbuhan embrionya.
Daya Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan kelembaban, umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur (Sutiyono dan Krismiati, 2006). Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk penetasan adalah 37,8°C, dengan kisaran 37,2-38,2°C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002)
Menurut J. M. Romao (2009) standar kebutuhan kelembaban relatif inkubator untuk proses penetasan telur itik antara 36,05 ± 6,06 % RH sampai dengan 76,50 ± 4,40 % RH. Kelembaban yang terlalu tinggi akan mencegah terjadinya penguapan air dari dalam telur, disamping itu jika kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya penguapan air yang terlalu banyak dari dalam telur sehingga akan terjadi kematian embrio. Kelembaban relatif juga mempengaruhi proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembabannya tinggi, perpindahan Ca dari kerabang telur ke tulang-tulangnya dalam perkembangan embrio akan lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, selanjutnya pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban relatif medekati maksimum (Parry B. Paimin, 2011).
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh suhu dan kelembaban inkubator terhadap telur ayam arab selama proses inkubasi pada temperatur dan kelembaban yang sama didalam inkubator terhadap laju perubahan bobot telur dan keadaan DOC tetas yang dihasilkan.

STUDI PUSTAKA
Dewasa ini penggunaan inkubator (mesin tetas) sudah umum dan banyak digunakan serta mudah diperoleh di beberapa tempat yang menyediakannya, bahkan masyarakat sipil bisa membuat sendiri, meski demikian banyak kasus yang dijumpai pada saat proses penetasan dilakukan itu tidak sempurna. Salah satu penyebab hal ini adalah faktor pengaturan kelembaban relatif ruang inkubator yang mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas tetas. Apabila kelembaban relatif (RH) terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi perkembangan embrio didalam telur dan laju perubahan air didalam telur selama inkubasi bisa dikontrol melalui pengaturan kelembaban relatif didalam inkubator.
Menurut J. M. Romao (2009) standar kebutuhan kelembaban relatif inkubator untuk proses penetasan telur itik antara 36,05 ± 6,06 % RH sampai dengan 76,50 ± 4,40 % RH. Kelembaban yang terlalu tinggi akan mencegah terjadinya penguapan air dari dalam telur, disamping itu jika kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya penguapan air yang terlalu banyak dari dalam telur sehingga akan terjadi kematian embrio. Kelembaban relatif juga mempengaruhi proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembabannya tinggi, perpindahan Ca dari kerambang telur ke tulang-tulangnya dalam perkembangan embrio akan lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, selanjutnya pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban relatif memdekati maksimum (Parry B. Paimin, 2011).
Pengujian laju perubahan berat telur menggunakan uji statistik F yang dilakukan dengan menggunakan analisis varians (ANOVA). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh hipotesis penelitian yang telah dilakukan sehingga hasilnya layak untuk diterima atau ditolaknya berdasarkan data yang telah di Tabelkan. Statistik F adalah perbandingan antara jumlah seluruh Variasi antar kelompok (Variasi antara kategori kelembaban relatif) dengan jumlah seluruh Variasi yang bersumber dari dalam setiap kelompok (Variasi berat telur). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penguapan air didalam telur itik selama proses inkubasi pada temperatur konstan dengan kelembaban bervariasi didalam inkubator terhadap laju perubahan berat telur dan keadaan anak tetas yang dihasilkan.

Kelembaban relatif dalam inkubator telur
Menurut J.M. Romao, TGN, Morales, RSC, Teix Ceira (2009), telur angsa jepang dilakukan percobaan terhadap kelembaban relatif (RH) dalam inkubator otomatis pada temperatur 37,5oC dan telur diputar setiap 30 menit selama 15 hari inkubasi dengan kelembaban rendah (36,05 ± 6,06% RH) adalah pengurangan berat telur 11,96%, sehingga berat anak ayam dipengaruhi juga oleh kelembaban tersebut.
Menurut Ar (1991) temperatur sangat mempengaruhi kelembaban relatif dan keduanya berkontribusi terhadap penguapan air telur selama inkubasi, korelasi temperatur dan kelembaban harus dilakukan pengawasan secara kontinyu selama proses inkubasi berlamgsung, dikarenakan penguapan kadar air didalam embrio tidak mampu di awasi.
Mesin tetas (inkubator)
Menurut Farry B. Paimin (2011), mesin tetas merupakan sebuah peti atau lemari dengan konstruksi yang dibuat sedemikian rupa sehingga panas didalam tidak terbuang.
Syarat-syarat penetasan telur
Temperatur dan perkembangan embrio, kelembaban dalam incubator, pengaturan ventilasi dan pemutaran telur. Temperatur dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur antara 94-104°F (36-40°C). Embrio tidak toleran terhadap perubahan temperatur yang drastis. Kelembaban mesin tetas sebaiknya diusahakan tetap pada 70 %.
Daya tetas telur yaitu banyaknya telur yang menetas dibandingkan dengan banyaknya telur yang fertil dan dinyatakan dalam persen. Daya Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan kelembaban, umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur (Sutiyono dan Krismiati, 2006).
Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk penetasan adalah 37,8°C, dengan kisaran 37,2-38,2°C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002). Hasil tetas adalah banyaknya jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan telur yang dimasukan kedalam mesin tetas dan dinyatakan dalam persen. Hasil tetas telur dipengaruhi oleh faktor : peralatan mesin tetas dalam menciptakan kondisi lingkungan (kelembaban dan temperatur) yang sesuai sebagai persyaratan menetasnya telur, dan faktor lingkungan diluar kemampuan pengelola misalnya terjadi perubahan tegangan listrik maupun pemadaman listrik (Prasetyo dan Susanti, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan mortalitas telur itik, serta mengetahui pengaruh temperatur terhadap hasil tetas telur itik.
Daya Tetas
Kisaran daya tetas hasil penelitian adalah 3,09% sampai dengan 62,00% dan rataan daya tetas dari tiap perlakuan adalah temperatur 36-37ºC 3,09±7,19%, temperatur 37-38°C 27,76±19,41% dan temperatur 38-39°C 62±13,6% (Tabel. 1). Hasil tersebut dapat terlihat bahwa rataan daya tetas temperatur 38-39°C paling tinggi dibandingkan dengan temperatur 36-37°C dan 37-38°C, Hal tersebut disebabkan karena temperatur yang diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan alami. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parkush dan Mountney (1988) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur antara 37-40°C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum.
Suhu atau temperatur memegang peranan yang sangat penting dalam penetasan telur karena mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Jika suhu terlalu rendah maka perkembangan organ-organ embrio tidak berkembang secara proporsional (Susila, 1997). Wiharto (1988) menyatakan, apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan menetas dan pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang dibutuhkan tidak mencukupi. Rakhman (1985) menyatakan, jika suhu didalam mesin tetas dibawah normal maka telur akan Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
350
menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu diatas normal, maka waktu menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002). Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya daya tetas yaitu berat telur, lama penyimpanan telur dan fertilitas. Berat telur yang digunakan pada perlakuan ini berkisar 55-75 gram. Wulandari (2005) menyatakan bahwa sebaiknya telur yang ditetaskan mempunyai berat 65-75 gr/butir.
Mortalitas Embrio
Berdasarkan hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap mortalitas embrio. Kisaran mortalitas embrio 29,86% sampai dengan 87,91%, dan rataan persentasi mortalitas embrio tiap perlakuan adalah temperatur 36-37ºC 87,91±7,32%, temperatur 37-38°C 29,86±714,93%, dan temperatur 38-39°C 43,3±21,1% (Tabel 1).
Hakim, dkk (2008), melaporkan bahwa telur ayam arab umur 7 hari yang ditetaskan menghasilkan rataan mortalitas 44,2%. Dalam penelitian ini didapat rataan mortalitas sebesar 43,3%. Hasil ini lebih baik dikarenakan telur yang digunakan pada penelitian berumur kurang dari 7 hari, sedangkan telur yang digunakan pada penelitian Hakim berumur 7 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Iskandar (2003), menyatakan bahwa terjadinya kematian (mortalitas) dalam proses penetasan dipengaruhi oleh umur telur, semakin lama telur disimpan dapat mengakibatkan penguraian zat organik.
Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979), menyatakan peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan mengurangi telur fertil yang menetas. Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu penetasan. Suhu di ruang inkubasi tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2°C dari kisaran suhu standar. Suhu standar untuk penetasan berkisar antara 36°C-39°C. Jika terjadi penurunan suhu terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan kalau terjadi kenaikan suhu melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991).
Hasil Tetas
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P>0,05) terhap hasil tetas. Kisaran hasil tetas 49,5% sampai dengan 3,09%, dan persentase hasil tetas telur tiap perlakuan adalah temperatur 36-37°C 3,09±7,31%, temperatur 37-38°C 31,09±7,08%, dan temperatur 38-39°C 49,5±10,3% (Tabel 1).
Rataan hasil tetas tertinggi pada temperatur 38-39°C yaitu 49,5±10,3%. Hal ini disebabkan karena suhu tersebut hampir menyerupai dengan keadaan suhu pada penetasan alami yang dilakukan oleh induk ketika mengerami telurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartono (2010) yang meyatakan bahwa suhu penetasan alami berkisar antara 37°C-38°C. Yudityo (2003) Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
351

MATERI DAN METODE
MATERI
Alat    
            Alat yang digunakan pada praktikum penetasan telur adalah mesin tetas, lampu bohlam, jangka sorong, timbangan digital, amplas, semprotan (sprayer), dan disinfektan (anti septik).
Bahan
            Bahan yang digunakan saat praktikum seperti telur tetas (telur ayam arab) sebanyak 16 buah. Pada minggu ketiga alat yang digunakan tidak jauh berbeda, hanya penambahan cawan petri, dan pisau. Bahan yang digunakan adalah telur tetas yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 1 minggu. Pada minggu keempat, praktikum menggunkan alat yang tak jauh berbeda dari minggu ketiga, untuk bahan yang digunakan adalah telur ayam yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 2 minggu.
METODE
Praktikum  kedua
            Satu kelompok dibagi tugas untuk melakukan praktkum, ada yang melakukan sanitasi kering pada mesin tetas, dan yang lain melakukan seleksi telur tetas. Sanitasi dilakukan dengan melakukan pembersihan terhadap mesin tetas. Seleksi pada telur tetas dimulai degan penimbangan bobot telur tetas, telur tetas diletakkan di atas timbangan digital dan di lihat dan dicatat hasil pengukurannya. Selanjutnya, telur tetas diamati kantung udaranya dengan cara peneropongan menggunakan senter, telur tetas yang kantung udaranya terlihat ditandai mengikuti pola kantung udara menggunakan pensil. Seleksi selanjutnya pengukuran panjang dan lebar telur tetas, telur tetas diukur dengan jangka sorong digital, telur diapit ujung atas dan ujung bawah untuk mengukur panjang telur, sedangkan untuk lebar diapit sisi samping kiri dan kanannya, kemudian dilihat dan dicatat hasilnya. Untuk indeks telur, pngukuran dilakukan dengan melihat perbandingan lebar dengan panjang telur dikalikan denagn 100%. Seleksi selanjutnya pengamatan fisik telur seperti keutuhan kerabang dan kebersihan telur. Kerabang telur dilihat apakah ada telur yang retak atau yang tidak sempurna dan telur yang kurang bersih seperti ada noda atau kotoran yang menempel, dibersihkan dengan cara diamplas secara perlahan. Setelah selesai semuanya, telur disusun di rak telur dan kemudian dimasukkan ke dalam setter mesin tetas.
Prosedur
Praktikum ketiga
             Praktikum kali ini adalah peneropongan pertama terhadap telur tetas yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 1 minggu. Telur dikeluarkan, kemudian dilakukan peneropongan menggunakan bohlam atau senter untuk kantung, bohlam atau senter ditempelken ke telur di tempat yang agak kurang pencahayaan dan ditandai dengan pensil besarnya kantung udara yang terlihat, peneropongan ini juga bertujuan untuk mencek ada tidaknya embrio pada telur sehingga akan bahwa telur fertil ( hidup atau mati), infertil, dan telur yang busuk. Data hasil pengecekan ditulis dalam buku yang sudah disiapkan.   

Praktikum keempat
Praktikum kali ini adalah peneropongan kedua terhadap telur tetas yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 2 minggu. Perlakuan praktikum kali ini sama dengan praktikum sebelumnya, telur diamati pertambahan besar kantung udaranya dengan peneropongan di tempat yang agak kurang pencahayaan, peneropongan juga melihat telur masih fertil, baik fertil hidaup maupun fertil mati. Data hasil pengecekan dicatat kembali dibuku yang sudah ada.
Praktikum ke lima

Praktikum ke lima kita memanen anak ayam,tapi sebelumnya kita terlebih dahulu memindahkan telut dari mesin setter ke mesin hatcher,pemanenan dilakukan ketika anak ayam sudah menetas,kemudian kita pisahkan anak ayam antara jantan dan betina dan kita timbang bobot tiap anak ayam,kemidian anak ayam kita pindahkan ke kandang pembesaran.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Data Akhir Kelompok Praktikum Jumat Siang

KELOMPOK
Rata-rata
1
2
3
4
5
% Fertilitas
93,75%
93,75%
100,00%
100,00%
93,75%
96,25%
%Daya tetas (telur fertil)
46,67%
53,33%
56,25%
50,00%
60,00%
53,25%
%Daya tetas (telur tetas )
43,75%
50,00%
56,25%
50,00%
56,25%
51.25%
% Salable Chick
100,00%
100,00%
100,00%
100,00%
100,00%
100,00%






Jumlah (butir)
∑ Telur tetas
16
16
16
16
16
80
∑ Telur Infertil
1
1
0
0
1
3
∑ Fertil Hidup
12
11
13
15
12
63
∑ Fertil Mati
3
4
3
1
3
14
∑ Telur Menetas
7
8
3
8
9
41
∑ Telur Tidak Menetas
5
3
4
7
3
22
∑ DOC jantan
3
3
1
2
3
12
∑ DOC betina
4
5
8
6
6
24







Perbandingan jantan : betina = 1 : 2.4








Tabel 2. Data Rata-Rata Suhu dan Kelembaban (RH)




No
Tanggal
Rata-rata
Suhu (oC)
Kelembaban (RH)
1
22/02/2014
38.25
45.50
2
23/02/2014
37.67
49
3
24/02/2014
37
47
4
25/02/2014
37
49.6
5
26/02/2014
37.5
50.6
6
27/02/2014
38
50
7
28/02/2014
37.67
48.6
8
01/03/2014
37.167
52
9
02/03/2014
37
53.83
10
03/03/2014
38
51.3
11
04/03/2014
37.167
51.3
12
05/03/2014
37.5
53
13
06/03/2014
37.67
50.6
14
07/03/2014
37.67
52
15
08/03/2014
37.67
53.16
16
09/03/2014
37.167
60
17
10/03/2014
37.67
52.6
18
11/03/2014
36.83
51.6
19
12/03/2014
37.33
49
20
13/03/2014
37.33
54
21
14/03/2014
37.5
52
22
15/03/2014
37.33
50.25
23
16/03/2014
37.75
52
24
17/03/2014
37.5
51

18/03/2014






Pembahasan
Mesin tetas merupakan alat penetas telur sebagai tiruan induk untuk mengeramkan telur dalam kapasitas banyak kerena dapat diatur sesuai kapasitas alat. Pengeraman telur semua jenis unggas dapat dilakukan dengan mesin tetas. Waktu yang dibutuhkan berbeda-beda, yaitu ayam selama 21 hari. Pengaturan suhu pada mesin tetas perlu diperhatikan, suhu pengeraman berlangsung mulai hari pertama hingga terakhir. Sebelum telur dimasukkan ke dalam mesin tetas maka mesin tetas harus di fumigasi untuk menghilangkan bakteri dan mikroorganisme yang dapat mengganggu proses penetasan. Dosis dari fumigasi tergantung pada luasan dari ruangan dan tujuan dari fumigasi. Dosis fumigasi adalah dua bagian larutan formalin dalam milimeter (cc) dicampur dengan kristal KmnO4 dalam gram. Dalam keadaan normal, digunakan satu kali dosis sedangkan kondisi ruangan pernah dijangkiti wabah penyakit maka dosisnya harus ditingkatkan (Suprijatna, Atmomarsono,& Kartasudjana, 2008). Sedangkan menurut  Sudaryani dan Santosa (2003), fumigasi untuk membunuh kuman penyakit dengan kekuatan 3 kali selama 30 menit ( KmnO4 60 gram dicampur dengan formalin 40% sebanyak 120cc untuk luas ruangan 2.8 m3). Dalam hal ini, formalin dituangkan ke dalam KmnO4. Menurut Paimin (2003), embrio akan berkembang cepat selama suhu telur tetap diatas 900F (32, 220C) dan akan berhenti berkembang pada suhu dibawah 26,660C. Suhu ruang penetasan diatas suhu telur yang dibutuhkan. Adapun suhu yang umum untuk penetasan telur ayam sekitar 38,33- 40,550C.
Fertilitas tertinggi terdapat pada kelompok tiga dan empat yang memiliki persentase fertilitas 100%. Sedangkan fertilitas kelompok satu,dua dan lima  berkisar antara 93-94%. Hal ini disebabkan oleh keadaan telur dilihat dari bobot telur, bentuk telur dan indeks telur. Telur yang normal memiliki persentase fertilitas yang relatif tinggi. Perbedaan persentase fertilitas telur yang ditetaskan dengan berat telur yang berbeda disebabkan karena telur yang ditetaskan banyak yang kurang normal dan tidak sesuai ukuran telur ayam Arab yang normal yaitu 40 – 45 g dengan berat rata-rata 42 g. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiawan (2010) yang menyatakan bahwa seleksi telur merupakan hal yang sangat penting dalam penetasan sebab untuk menetaskan telur, perlu memilih telur yang ukurannya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil dimana berat telur ayam Arab yang baik untuk ditetaskan adalah 40 – 45 g dengan berat rata-rata yaitu 42 g. Telur yang terlalu besar atau terlalu kecil menyebabkan bakal embrio tidak berkembang dan dapat menurunkan fertilitas telur. Hal ini disebabkan karena telur ringan banyak yang memiliki berat yang jauh dari standar berat normal telur yaitu 40 – 45 g. Hal ini sesuai dengan deangan pendapat Gunawan (2001), yang menyatakan bahwa untuk mengurangi kegagalan dalam menetaskan telur ayam, seleksi telur perlu dilakukan, seperti seleksi berat dan  bentuk telur.
Hasil praktikum menunjukan bahwa suhu yang rata-rata 37 C dan  RH 50 daya tetas yang cuku tinggi karena antara suhu dan kelembaban mempunyai korelasi yang berhubungan dengan daya tetas telur yang rata-rata 53,25%,suhu yang stabil pada mesin tetas juga mempengaruhi jumlah telur fertil mati yang hanya berjumlah 14 buah,dan pada akhir praktikum telur yang menetas lebih banyak dari yang tidak menetas ,yaitu yang menetas sebanyak 41 buah dan yang tidak menetas sebanyak 22 buah,ini menunjukan suhu yang stabil mempengaruhi daya tetas telur,tetapi untuk RH adalah rata-rata 50% ini berbeda dengan literatur yang kami dapatkan yaitu RH agar telur menetas maksimal adalah sekitar 76 %, hal ini menyebakan telur pada praktikum tidak menetas maksimal karena RH yang terlalu rendah.  Menurut Ar (1991) temperatur sangat mempengaruhi kelembaban relatif dan keduanya berkontribusi terhadap penguapan air telur selama inkubasi, korelasi temperatur dan kelembaban harus dilakukan pengawasan secara kontinyu selama proses inkubasi berlamgsung, dikarenakan penguapan kadar air didalam embrio tidak mampu di awasi.

Semakin berat telur maka berat tetas akan meningkat karena berat telur dan berat tetas memiliki hubungan yang berbanding lurus. Hal ini disebabkan karena telur yang beratnya semakin tinggi memiliki persentase komposisi telur yang semakin besar. Hal ini didukung oleh pendapat Sarwono (1994) yang menyatakan bahwa seleksi telur tetas yang lebih diutamakan berat telur, karena berat telur tetas akan mempengaruhi berat awal anak ayam yang ditetaskan. Selain itu, telur tetas yang terlalu besar akan menghasilkan anak ayam yang umur sehari relative besar, laju pertumbuhan bulunya cepat, kematian lebih rendah dan konversi makanannya lebih baik.
Berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT)  menunjukkan telur ringan berbeda dengan telur yang sedang dan telur yang berat, sedangkan telur yang sedang tidak berbeda dengan telur yang berat. Hal ini menunjukkan semakin berat telur yang akan ditetaskan, maka berat tetas akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu (2005) yang menyatakan bahwa anak yang dihasilkan dari penetasan telur sangat dipengaruhi oleh berat telur karena telur mengandung nutrisi seperti vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman. Nutrisi ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu setelah anak ayam menetas. Berat telur yang seragam akan menghasilkan anak ayam hasil penetasan yang seragam pula.
Telur terdiri dari beberapa komponen dimana setiap komponen memiliki fungsi  yang berbeda-beda dalam proses perkembangan embrio. Hal ini sesuai dengan pendapat Science (2011) yang menyatakan bahwa telur memiliki beberapa komponen utama, setiap komponen memiliki fungsi masing-masing.Kerabang telur berfungsi sebagai pelindung embrio dari gangguan luar yang tidak menguntungkan.Kerabang juga berfungsi melindungi putih telur dan kuning telur agar tidak keluar dan terkontaminasi darizat-zat yang tidak diinginkan.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Putra (2009) bahwa, kerabang telur memiliki pori-pori sebagai media lalu lintas gas oksigen(O2) dan karbon dioksida (CO2) selama proses penetasan. Oksigen diperlukan embrio untuk proses pernapasan dan perkembangannya.Putih telur merupakan tempat penyimpanan air dan zat makanan didalam telur yang digunakan untuk pertumbuhan embrio. Kuning telur merupakan bagian telur yang bulatbentuknya, berwarna kuning sampai jingga dan terdapat di tengah-tengah telur.Kuning telur mengandungzat lemak yang penting bagi pertumbuhan embrio.Di dalam kuning telur terdapat sel benih yang menjadiunsur utama embrio unggas.Pada bagian ujung yang tumpul dari telur terdapat rongga udara yangberguna untuk bernapas bagi embrio selama periode penetasan, yang berlangsung rata-rata 20-22 hari.
Selain itu faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi daya tetas seperti keretakan, kesalahan pendeteksi saat peneropongan dan lamanya telur saat diseleksi diluar mesin tetas.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan bahawa suhu dan kelembaban mempengaruhi dalam penetasan telur ayam arab yang ditetaskan menggunakan mesin tetas. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi jumlah telur fertil mati dan mempengaruhi daya tetas telur. Suhu dan kelembaban mempunyai korelasi yang berhubungan dengan daya tetas telur. Temperatur mempengaruhi kelembaban relatif dan berkontribusi terhadap penguapan air selama inkubasi, korelasi temperatur dan kelembaban harus dilakukan pengawasan secara kontinyu selama proses inkubasi berlangsung, dikarenakan penguapan kadar air didalam embrio tidak dapat di awasi.
         
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan     metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian 27 (3):99-105.
Brown, T.L., et al.. 2004. Chemistry The Central Science. Edisi Kedelapan. New   Jersey : Prentice Hall Internasional.
Cotton, F. A. Dan Wilkinson, G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Alih bahasa Sahati           Suharto. Jakarta : UI-Press.
Cullison, A. E. 1979. Feed and Feeding Animal Nutrition. India : Prentice-Hall of India. pp.81-84
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta.
Darmono dan S. Bahri. 1990b. Status beberapa mineral makro (Na, K, Ca, Mg,dan P)        dalam saliva dan serum sapi di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 22(40): 138-142.
Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya.     Yogyakarta: Liberty.
Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology. CRC Press. Boca Raton.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan            Ternak, Fakultas Petemakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, hal. 8 I – 86.
Keenan, C.W., Kleinfelter, D.C., & Wood, J.H.. 1989. Ilmu Kimia untuk Universitas: Edisi          Keenam. Jakarta : Erlangga.
Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. van Nostrand Reinhold, New York.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. USA : CRC Press, Boca Raton.
Sinurat, A.P ., K. Zulkarnain, and  Bestari. 1992 . A method of measuring metabolizable energy of feed stuffs for ducks . Ibnu dan Peternakan 5 (1) :            28-30.
Wilson, C.B., G.E. Erickson, T.J. Klopfenstein, R.J. Rasby, D.C. Adams and G.    Rush. 2004. A Review of Corn Stalk Grazing on Animal Performans and         Crops Yield. Nebraska Beef Cattle Report. pp. 13 – 15. http:     //digitalcommons.unl.edu/animalscinber/215.             (21 Maret 2014).
Winarno, F.G., 1996. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.