LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK UNGGAS
Mata
Kuliah : Teknologi Produksi Ternak Unggas
Dosen
Pembimbing : Maria Ulfah S.Pt., MSc.
Eka Koswara
S.Pt.
Tempat : Laboratorium Produksi
Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, IPB
PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP
DAYA TETAS TELUR
Ady
Fendy U. D14120035
Aditya
Dharmawan D24120065
Taufik
Hidayat D14135010
Suhartiti D14135009
Rahma Febriana D24135004
Rifa Afifah D14120004
Audina Putri D14135003
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI
PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan
mesin tetas sudah umum dan banyak digunakan serta mudah diperoleh di beberapa
tempat yang menyediakannya, bahkan masyarakat umum bisa membuat sendiri, meski
demikian banyak kasus yang dijumpai pada saat proses penetasan dilakukan itu
tidak sempurna. Salah satu penyebab hal ini adalah faktor pengaturan kelembaban
relatif dan suhu ruang mesin tetas yang mempunyai pengaruh besar terhadap
kualitas telur tetas. Apabila kelembaban relatif (RH) dan suhu terlalu rendah
atau terlalu tinggi akan mempengaruhi perkembangan embrio didalam telur dan
laju perubahan air didalam telur selama inkubasi bisa dikontrol melalui
pengaturan kelembaban relatif didalam mesin tetas.
Unggas
merupakan ternak bersayap dari kelas aves yang telah didomestikasikan. Unggas
termasuk salah satu ternak yang dapat dimanfaatkan daging, telur, dan hasil
ikutan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Unggas
khususnya ayam dibagi menjadi dua, yaitu ayam pedaging dan ayam petelur. Ayam
pedaging (broiler) dipelihara dengan tujuan memproduksi daging sedangkan ayam
petelur (layer) untuk memproduksi telur. Telur tidak semuanya dikonsumsi,
karena telur merupakan bakalan atau calon dari penerus unggas itu sendiri.
Selain dikonsumsi, telur tersebut juga harus melalui proses penetasan agar
individu baru muncul dan spesies unggas tidak punah.
Telur
tetas dan telur konsumsi memang memiliki perbedaan. Telur konsumsi biasanya
telur yang dihasilkan oleh ayam layer dan telur tersebut tidak dibuahi oleh
ayam jantan. Sedangkan telur tetas merupakan telur yang diperoleh dari ayam
betina yang sebelumnya telah dikawini oleh ayam jantan. Salah satu jenis unggas
yang dapat menghasilkan telur setiap hari yang telah kita kenal adalah ayam
kampung. Penetasan telur ayam kampung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penetasan telur dengan induk dan menggunakan mesin penetas atau inkubator.
Menetaskan telur berarti mengeramkan telur agar menetas dengan tanda kerabang
telur terbuka atau pecah sehingga anak dapat keluar dan hidup. Penetasan secara
alami melalui induk kurang efektif dan efisien karena terbatasnya telur yang
dapat ditetaskan dalam waktu tertentu.
Penetasan
pada prinsipnya adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan
embrio unggas. Lama penetasan telur ditempat pengeraman sangat tergantung dari
jenis hewannya. Semakin kecil hewan, semakin kecil telur yang dihasilkan. Dan,
semakin tinggi suhu badan hewan, semakin pendek waktu penetasan telurnya. Bila
bentuk telur dan ukurannya seragam, waktu penetasan akan selalu hampir
bersamaan. Berbeda dengan ayam, jenis unggas lain seperti itik dan puyuh
tidak mempunyai sifat mengeram. Dahulu, untuk memperbanyak populasinya hanya
dengan seleksi alam, baik oleh induknya maupun oleh lingkungan. Namun saat ini,
dengan adanya alat penetas buatan akan mempermudah perbanyakan populasi unggas
ini.
Pada
prinsipnya penetasan telur dengan mesin tetas adalah mengkondisikan telur sama
seperti telur yang dierami oleh induknya. Baik itu suhu, kelembaban dan juga
posisi telur. Dalam proses penetasan dengan menggunakan mesin tetas memiliki
kelebihan di banding dengan penetasan secara alami, yaitu : dapat dilakukan
sewaktu-waktu, dapat dilakukan dengan jumlah telur yang banyak, menghasilkan
anak dalam jumlah banyak dalam waktu bersamaan, dapat dilakukan pengawasan dan
seleksi pada telur. Hal-hal yang mendukung keberhasilan dari penetasan dengan
mesin tetas antara lain adalah telur tetas itu sendiri harus telur yang fertil
yaitu telur dari betina yang di kawini pejantan, suhu dan kelembaban mesin
tetas harus tetap diperhatikan, sirkulasi udara dalam mesin tetas tetap lancar,
pemutaran telur dan juga candling yaitu peneropongan telur selama proses
penetasan sehingga dapat diketahui pertumbuhan embrionya.
Daya
Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan kelembaban,
umur induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur (Sutiyono
dan Krismiati, 2006). Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk
penetasan adalah 37,8°C, dengan kisaran 37,2-38,2°C. Pada suhu ini akan
dihasilkan daya tetas yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor
penting untuk perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan
menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban
mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002)
Menurut
J. M. Romao (2009) standar kebutuhan kelembaban relatif inkubator untuk proses
penetasan telur itik antara 36,05 ± 6,06 % RH sampai dengan 76,50 ± 4,40 % RH.
Kelembaban yang terlalu tinggi akan mencegah terjadinya penguapan air dari
dalam telur, disamping itu jika kelembaban yang terlalu rendah dapat
menyebabkan terjadinya penguapan air yang terlalu banyak dari dalam telur
sehingga akan terjadi kematian embrio. Kelembaban relatif juga mempengaruhi
proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembabannya tinggi,
perpindahan Ca dari kerabang telur ke tulang-tulangnya dalam perkembangan
embrio akan lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan
kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, selanjutnya
pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban relatif medekati
maksimum (Parry B. Paimin, 2011).
Tujuan
Praktikum
ini bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh suhu dan kelembaban inkubator
terhadap telur ayam arab selama proses inkubasi pada temperatur dan kelembaban
yang sama didalam inkubator terhadap laju perubahan bobot telur dan keadaan DOC
tetas yang dihasilkan.
STUDI PUSTAKA
Dewasa ini
penggunaan inkubator (mesin tetas) sudah umum dan banyak digunakan serta mudah
diperoleh di beberapa tempat yang menyediakannya, bahkan masyarakat sipil bisa
membuat sendiri, meski demikian banyak kasus yang dijumpai pada saat proses
penetasan dilakukan itu tidak sempurna. Salah satu penyebab hal ini adalah
faktor pengaturan kelembaban relatif ruang inkubator yang mempunyai pengaruh
besar terhadap kualitas tetas. Apabila kelembaban relatif (RH) terlalu rendah
atau terlalu tinggi akan mempengaruhi perkembangan embrio didalam telur dan
laju perubahan air didalam telur selama inkubasi bisa dikontrol melalui
pengaturan kelembaban relatif didalam inkubator.
Menurut J.
M. Romao (2009) standar kebutuhan kelembaban relatif inkubator untuk proses
penetasan telur itik antara 36,05 ± 6,06 % RH sampai dengan 76,50 ± 4,40 % RH.
Kelembaban yang terlalu tinggi akan mencegah terjadinya penguapan air dari
dalam telur, disamping itu jika kelembaban yang terlalu rendah dapat
menyebabkan terjadinya penguapan air yang terlalu banyak dari dalam telur
sehingga akan terjadi kematian embrio. Kelembaban relatif juga mempengaruhi
proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembabannya tinggi,
perpindahan Ca dari kerambang telur ke tulang-tulangnya dalam perkembangan
embrio akan lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan
kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, selanjutnya
pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban relatif memdekati
maksimum (Parry B. Paimin, 2011).
Pengujian
laju perubahan berat telur menggunakan uji statistik F yang dilakukan dengan
menggunakan analisis varians (ANOVA). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa jauh hipotesis penelitian yang telah dilakukan sehingga hasilnya layak
untuk diterima atau ditolaknya berdasarkan data yang telah di Tabelkan.
Statistik F adalah perbandingan antara jumlah seluruh Variasi antar kelompok
(Variasi antara kategori kelembaban relatif) dengan jumlah seluruh Variasi yang
bersumber dari dalam setiap kelompok (Variasi berat telur). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penguapan air didalam telur
itik selama proses inkubasi pada temperatur konstan dengan kelembaban bervariasi
didalam inkubator terhadap laju perubahan berat telur dan keadaan anak tetas
yang dihasilkan.
Kelembaban
relatif dalam inkubator telur
Menurut
J.M. Romao, TGN, Morales, RSC, Teix Ceira (2009), telur angsa jepang dilakukan
percobaan terhadap kelembaban relatif (RH) dalam inkubator otomatis pada
temperatur 37,5oC dan telur diputar setiap 30 menit selama 15 hari inkubasi
dengan kelembaban rendah (36,05 ± 6,06% RH) adalah pengurangan berat telur
11,96%, sehingga berat anak ayam dipengaruhi juga oleh kelembaban tersebut.
Menurut Ar
(1991) temperatur sangat mempengaruhi kelembaban relatif dan keduanya
berkontribusi terhadap penguapan air telur selama inkubasi, korelasi temperatur
dan kelembaban harus dilakukan pengawasan secara kontinyu selama proses
inkubasi berlamgsung, dikarenakan penguapan kadar air didalam embrio tidak
mampu di awasi.
Mesin
tetas (inkubator)
Menurut
Farry B. Paimin (2011), mesin tetas merupakan sebuah peti atau lemari dengan
konstruksi yang dibuat sedemikian rupa sehingga panas didalam tidak terbuang.
Syarat-syarat
penetasan telur
Temperatur
dan perkembangan embrio, kelembaban dalam incubator, pengaturan ventilasi dan
pemutaran telur. Temperatur dan kelembaban dalam mesin tetas harus stabil untuk
mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus
dan Moutney (1998) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada
temperatur antara 94-104°F (36-40°C). Embrio tidak toleran terhadap perubahan
temperatur yang drastis. Kelembaban mesin tetas sebaiknya diusahakan tetap pada
70 %.
Daya tetas telur yaitu banyaknya telur yang menetas dibandingkan
dengan banyaknya telur yang fertil dan dinyatakan dalam persen. Daya Tetas
dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan kelembaban, umur
induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur (Sutiyono
dan Krismiati, 2006).
Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk penetasan adalah
37,8°C, dengan kisaran 37,2-38,2°C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas
yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk
perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian
embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi
pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002). Hasil tetas adalah banyaknya
jumlah telur yang menetas dibandingkan dengan telur yang dimasukan kedalam
mesin tetas dan dinyatakan dalam persen. Hasil tetas telur dipengaruhi oleh
faktor : peralatan mesin tetas dalam menciptakan kondisi lingkungan (kelembaban
dan temperatur) yang sesuai sebagai persyaratan menetasnya telur, dan faktor
lingkungan diluar kemampuan pengelola misalnya terjadi perubahan tegangan
listrik maupun pemadaman listrik (Prasetyo dan Susanti, 2000). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap daya tetas dan
mortalitas telur itik, serta mengetahui pengaruh temperatur terhadap hasil
tetas telur itik.
Daya Tetas
Kisaran daya tetas hasil penelitian
adalah 3,09% sampai dengan 62,00% dan rataan daya tetas dari tiap perlakuan
adalah temperatur 36-37ºC 3,09±7,19%, temperatur 37-38°C 27,76±19,41% dan
temperatur 38-39°C 62±13,6% (Tabel. 1). Hasil tersebut dapat terlihat bahwa
rataan daya tetas temperatur 38-39°C paling tinggi dibandingkan dengan
temperatur 36-37°C dan 37-38°C, Hal tersebut disebabkan karena temperatur yang
diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan alami. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Parkush dan Mountney (1988) menyatakan bahwa
telur akan banyak menetas jika berada pada temperatur antara 37-40°C. Pada suhu
ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum.
Suhu atau temperatur memegang
peranan yang sangat penting dalam penetasan telur karena mempengaruhi
perkembangan embrio di dalam telur. Jika suhu terlalu rendah maka perkembangan
organ-organ embrio tidak berkembang secara proporsional (Susila, 1997). Wiharto
(1988) menyatakan, apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan
menetas dan pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang
dibutuhkan tidak mencukupi. Rakhman (1985) menyatakan, jika suhu didalam mesin
tetas dibawah normal maka telur akan Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah
Peternakan 1(1):347-352, April 2013
350
menetas
lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu diatas normal, maka
waktu menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan,
sehingga DOD yang dihasilkan akan lemah, akibatnya DOD akan mengalami
kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002). Faktor lain yang
mempengaruhi tinggi rendahnya daya tetas yaitu berat telur, lama penyimpanan
telur dan fertilitas. Berat telur yang digunakan pada perlakuan ini berkisar
55-75 gram. Wulandari (2005) menyatakan bahwa sebaiknya telur yang ditetaskan
mempunyai berat 65-75 gr/butir.
Mortalitas Embrio
Berdasarkan hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap mortalitas
embrio. Kisaran mortalitas embrio 29,86% sampai dengan 87,91%, dan rataan
persentasi mortalitas embrio tiap perlakuan adalah temperatur 36-37ºC
87,91±7,32%, temperatur 37-38°C 29,86±714,93%, dan temperatur 38-39°C
43,3±21,1% (Tabel 1).
Hakim, dkk (2008), melaporkan bahwa telur ayam arab
umur 7 hari yang ditetaskan menghasilkan rataan mortalitas 44,2%. Dalam
penelitian ini didapat rataan mortalitas sebesar 43,3%. Hasil ini lebih baik dikarenakan
telur yang digunakan pada penelitian berumur kurang dari 7 hari, sedangkan
telur yang digunakan pada penelitian Hakim berumur 7 hari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Iskandar (2003), menyatakan bahwa terjadinya kematian
(mortalitas) dalam proses penetasan dipengaruhi oleh umur telur, semakin lama
telur disimpan dapat mengakibatkan penguraian zat organik.
Telur yang tidak menetas karena
kekeringan disebabkan oleh kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu
mesin yang tinggi pada masa akhir pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk
mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika
kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu
keras. Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat
menyebabkan kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc
Daniel (1979), menyatakan peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan
mengurangi telur fertil yang menetas. Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio
muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu penetasan. Suhu di ruang inkubasi
tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2°C dari kisaran suhu standar. Suhu
standar untuk penetasan berkisar antara 36°C-39°C. Jika terjadi penurunan suhu
terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan kalau
terjadi kenaikan suhu melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami
dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991).
Hasil Tetas
Berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P>0,05) terhap hasil tetas.
Kisaran hasil tetas 49,5% sampai dengan 3,09%, dan persentase hasil tetas telur
tiap perlakuan adalah temperatur 36-37°C 3,09±7,31%, temperatur 37-38°C
31,09±7,08%, dan temperatur 38-39°C 49,5±10,3% (Tabel 1).
Rataan hasil tetas tertinggi pada temperatur 38-39°C
yaitu 49,5±10,3%. Hal ini disebabkan karena suhu tersebut hampir menyerupai
dengan keadaan suhu pada penetasan alami yang dilakukan oleh induk ketika
mengerami telurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartono (2010) yang
meyatakan bahwa suhu penetasan alami berkisar antara 37°C-38°C. Yudityo (2003)
Maulidya Siella Ningtyas dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):347-352, April 2013
351
MATERI DAN METODE
MATERI
Alat
Alat yang digunakan pada praktikum
penetasan telur adalah mesin tetas, lampu bohlam, jangka sorong, timbangan
digital, amplas, semprotan (sprayer), dan disinfektan (anti septik).
Bahan
Bahan yang digunakan saat praktikum
seperti telur tetas (telur ayam arab) sebanyak 16 buah. Pada minggu ketiga alat
yang digunakan tidak jauh berbeda, hanya penambahan cawan petri, dan pisau.
Bahan yang digunakan adalah telur tetas yang sudah dimasukkan ke dalam mesin
tetas selama 1 minggu. Pada minggu keempat, praktikum menggunkan alat yang tak
jauh berbeda dari minggu ketiga, untuk bahan yang digunakan adalah telur ayam
yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 2 minggu.
METODE
Praktikum kedua
Satu kelompok dibagi tugas untuk
melakukan praktkum, ada yang melakukan sanitasi kering pada mesin tetas, dan
yang lain melakukan seleksi telur tetas. Sanitasi dilakukan dengan melakukan
pembersihan terhadap mesin tetas. Seleksi pada telur tetas dimulai degan
penimbangan bobot telur tetas, telur tetas diletakkan di atas timbangan digital
dan di lihat dan dicatat hasil pengukurannya. Selanjutnya, telur tetas diamati
kantung udaranya dengan cara peneropongan menggunakan senter, telur tetas yang
kantung udaranya terlihat ditandai mengikuti pola kantung udara menggunakan
pensil. Seleksi selanjutnya pengukuran panjang dan lebar telur tetas, telur
tetas diukur dengan jangka sorong digital, telur diapit ujung atas dan ujung
bawah untuk mengukur panjang telur, sedangkan untuk lebar diapit sisi samping
kiri dan kanannya, kemudian dilihat dan dicatat hasilnya. Untuk indeks telur,
pngukuran dilakukan dengan melihat perbandingan lebar dengan panjang telur
dikalikan denagn 100%. Seleksi selanjutnya pengamatan fisik telur seperti
keutuhan kerabang dan kebersihan telur. Kerabang telur dilihat apakah ada telur
yang retak atau yang tidak sempurna dan telur yang kurang bersih seperti ada
noda atau kotoran yang menempel, dibersihkan dengan cara diamplas secara
perlahan. Setelah selesai semuanya, telur disusun di rak telur dan kemudian
dimasukkan ke dalam setter mesin tetas.
Prosedur
Praktikum
ketiga
Praktikum kali ini adalah peneropongan pertama
terhadap telur tetas yang sudah dimasukkan ke dalam mesin tetas selama 1
minggu. Telur dikeluarkan, kemudian dilakukan peneropongan menggunakan bohlam
atau senter untuk kantung, bohlam atau senter ditempelken ke telur di tempat
yang agak kurang pencahayaan dan ditandai dengan pensil besarnya kantung udara
yang terlihat, peneropongan ini juga bertujuan untuk mencek ada tidaknya embrio
pada telur sehingga akan bahwa telur fertil ( hidup atau mati), infertil, dan
telur yang busuk. Data hasil pengecekan ditulis dalam buku yang sudah
disiapkan.
Praktikum
keempat
Praktikum
kali ini adalah peneropongan kedua terhadap telur tetas yang sudah dimasukkan
ke dalam mesin tetas selama 2 minggu. Perlakuan praktikum kali ini sama dengan
praktikum sebelumnya, telur diamati pertambahan besar kantung udaranya dengan
peneropongan di tempat yang agak kurang pencahayaan, peneropongan juga melihat
telur masih fertil, baik fertil hidaup maupun fertil mati. Data hasil
pengecekan dicatat kembali dibuku yang sudah ada.
Praktikum
ke lima
Praktikum
ke lima kita memanen anak ayam,tapi sebelumnya kita terlebih dahulu memindahkan
telut dari mesin setter ke mesin hatcher,pemanenan dilakukan ketika anak ayam
sudah menetas,kemudian kita pisahkan anak ayam antara jantan dan betina dan
kita timbang bobot tiap anak ayam,kemidian anak ayam kita pindahkan ke kandang
pembesaran.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Data Akhir Kelompok
Praktikum Jumat Siang
|
||||||
KELOMPOK
|
Rata-rata
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
% Fertilitas
|
93,75%
|
93,75%
|
100,00%
|
100,00%
|
93,75%
|
96,25%
|
%Daya tetas (telur fertil)
|
46,67%
|
53,33%
|
56,25%
|
50,00%
|
60,00%
|
53,25%
|
%Daya tetas (telur tetas )
|
43,75%
|
50,00%
|
56,25%
|
50,00%
|
56,25%
|
51.25%
|
% Salable Chick
|
100,00%
|
100,00%
|
100,00%
|
100,00%
|
100,00%
|
100,00%
|
Jumlah (butir)
|
||||||
∑ Telur tetas
|
16
|
16
|
16
|
16
|
16
|
80
|
∑ Telur Infertil
|
1
|
1
|
0
|
0
|
1
|
3
|
∑ Fertil Hidup
|
12
|
11
|
13
|
15
|
12
|
63
|
∑ Fertil Mati
|
3
|
4
|
3
|
1
|
3
|
14
|
∑ Telur Menetas
|
7
|
8
|
3
|
8
|
9
|
41
|
∑ Telur Tidak Menetas
|
5
|
3
|
4
|
7
|
3
|
22
|
∑ DOC jantan
|
3
|
3
|
1
|
2
|
3
|
12
|
∑ DOC betina
|
4
|
5
|
8
|
6
|
6
|
24
|
Perbandingan jantan : betina = 1 : 2.4
|
No
|
Tanggal
|
Rata-rata
|
|
Suhu (oC)
|
Kelembaban (RH)
|
||
1
|
22/02/2014
|
38.25
|
45.50
|
2
|
23/02/2014
|
37.67
|
49
|
3
|
24/02/2014
|
37
|
47
|
4
|
25/02/2014
|
37
|
49.6
|
5
|
26/02/2014
|
37.5
|
50.6
|
6
|
27/02/2014
|
38
|
50
|
7
|
28/02/2014
|
37.67
|
48.6
|
8
|
01/03/2014
|
37.167
|
52
|
9
|
02/03/2014
|
37
|
53.83
|
10
|
03/03/2014
|
38
|
51.3
|
11
|
04/03/2014
|
37.167
|
51.3
|
12
|
05/03/2014
|
37.5
|
53
|
13
|
06/03/2014
|
37.67
|
50.6
|
14
|
07/03/2014
|
37.67
|
52
|
15
|
08/03/2014
|
37.67
|
53.16
|
16
|
09/03/2014
|
37.167
|
60
|
17
|
10/03/2014
|
37.67
|
52.6
|
18
|
11/03/2014
|
36.83
|
51.6
|
19
|
12/03/2014
|
37.33
|
49
|
20
|
13/03/2014
|
37.33
|
54
|
21
|
14/03/2014
|
37.5
|
52
|
22
|
15/03/2014
|
37.33
|
50.25
|
23
|
16/03/2014
|
37.75
|
52
|
24
|
17/03/2014
|
37.5
|
51
|
18/03/2014
|
Pembahasan
Mesin tetas merupakan alat penetas telur
sebagai tiruan induk untuk mengeramkan telur dalam kapasitas banyak kerena
dapat diatur sesuai kapasitas alat. Pengeraman telur semua jenis unggas dapat
dilakukan dengan mesin tetas. Waktu yang dibutuhkan berbeda-beda, yaitu ayam
selama 21 hari. Pengaturan suhu pada mesin tetas perlu diperhatikan, suhu
pengeraman berlangsung mulai hari pertama hingga terakhir. Sebelum telur
dimasukkan ke dalam mesin tetas maka mesin tetas harus di fumigasi untuk
menghilangkan bakteri dan mikroorganisme yang dapat mengganggu proses
penetasan. Dosis dari fumigasi tergantung pada luasan dari ruangan dan tujuan
dari fumigasi. Dosis fumigasi adalah dua bagian larutan formalin dalam
milimeter (cc) dicampur dengan kristal KmnO4 dalam gram. Dalam
keadaan normal, digunakan satu kali dosis sedangkan kondisi ruangan pernah
dijangkiti wabah penyakit maka dosisnya harus ditingkatkan (Suprijatna,
Atmomarsono,& Kartasudjana, 2008). Sedangkan menurut Sudaryani dan Santosa (2003), fumigasi untuk
membunuh kuman penyakit dengan kekuatan 3 kali selama 30 menit ( KmnO4
60 gram dicampur dengan formalin 40% sebanyak 120cc untuk luas ruangan 2.8 m3).
Dalam hal ini, formalin dituangkan ke dalam KmnO4. Menurut Paimin
(2003), embrio akan berkembang cepat selama suhu telur tetap diatas 900F
(32, 220C) dan akan berhenti berkembang pada suhu dibawah 26,660C.
Suhu ruang penetasan diatas suhu telur yang dibutuhkan. Adapun suhu yang umum
untuk penetasan telur ayam sekitar 38,33- 40,550C.
Fertilitas
tertinggi terdapat pada kelompok tiga dan empat yang memiliki persentase
fertilitas 100%. Sedangkan fertilitas kelompok satu,dua dan lima berkisar antara 93-94%. Hal ini disebabkan
oleh keadaan telur dilihat dari bobot telur, bentuk telur dan indeks telur.
Telur yang normal memiliki persentase fertilitas yang relatif tinggi. Perbedaan
persentase fertilitas telur yang ditetaskan dengan berat telur yang berbeda
disebabkan karena telur yang ditetaskan banyak yang kurang normal dan tidak
sesuai ukuran telur ayam Arab yang normal yaitu 40 – 45 g dengan berat
rata-rata 42 g. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiawan (2010) yang menyatakan
bahwa seleksi telur merupakan hal yang sangat penting dalam penetasan sebab
untuk menetaskan telur, perlu memilih telur yang ukurannya tidak terlalu besar
dan tidak terlalu kecil dimana berat telur ayam Arab yang baik untuk ditetaskan
adalah 40 – 45 g dengan berat rata-rata yaitu 42 g. Telur yang terlalu besar
atau terlalu kecil menyebabkan bakal embrio tidak berkembang dan dapat
menurunkan fertilitas telur. Hal ini disebabkan karena telur ringan banyak yang
memiliki berat yang jauh dari standar berat normal telur yaitu 40 – 45 g. Hal
ini sesuai dengan deangan pendapat Gunawan (2001), yang menyatakan bahwa untuk
mengurangi kegagalan dalam menetaskan telur ayam, seleksi telur perlu dilakukan,
seperti seleksi berat dan bentuk telur.
Hasil
praktikum menunjukan bahwa suhu yang rata-rata 37 C dan RH 50 daya tetas yang cuku tinggi karena
antara suhu dan kelembaban mempunyai korelasi yang berhubungan dengan daya
tetas telur yang rata-rata 53,25%,suhu yang stabil pada mesin tetas juga
mempengaruhi jumlah telur fertil mati yang hanya berjumlah 14 buah,dan pada
akhir praktikum telur yang menetas lebih banyak dari yang tidak menetas ,yaitu
yang menetas sebanyak 41 buah dan yang tidak menetas sebanyak 22 buah,ini
menunjukan suhu yang stabil mempengaruhi daya tetas telur,tetapi untuk RH
adalah rata-rata 50% ini berbeda dengan literatur yang kami dapatkan yaitu RH
agar telur menetas maksimal adalah sekitar 76 %, hal ini menyebakan telur pada
praktikum tidak menetas maksimal karena RH yang terlalu rendah. Menurut Ar (1991) temperatur sangat
mempengaruhi kelembaban relatif dan keduanya berkontribusi terhadap penguapan
air telur selama inkubasi, korelasi temperatur dan kelembaban harus dilakukan
pengawasan secara kontinyu selama proses inkubasi berlamgsung, dikarenakan
penguapan kadar air didalam embrio tidak mampu di awasi.
Semakin
berat telur maka berat tetas akan meningkat karena berat telur dan berat tetas
memiliki hubungan yang berbanding lurus. Hal ini disebabkan karena telur yang
beratnya semakin tinggi memiliki persentase komposisi telur yang semakin besar.
Hal ini didukung oleh pendapat Sarwono (1994) yang menyatakan bahwa seleksi
telur tetas yang lebih diutamakan berat telur, karena berat telur tetas akan
mempengaruhi berat awal anak ayam yang ditetaskan. Selain itu, telur tetas yang
terlalu besar akan menghasilkan anak ayam yang umur sehari relative besar, laju
pertumbuhan bulunya cepat, kematian lebih rendah dan konversi makanannya lebih
baik.
Berdasarkan
uji beda nyata terkecil (BNT)
menunjukkan telur ringan berbeda dengan telur yang sedang dan telur yang
berat, sedangkan telur yang sedang tidak berbeda dengan telur yang berat. Hal
ini menunjukkan semakin berat telur yang akan ditetaskan, maka berat tetas akan
semakin besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu (2005) yang menyatakan
bahwa anak yang dihasilkan dari penetasan telur sangat dipengaruhi oleh berat
telur karena telur mengandung nutrisi seperti vitamin, mineral dan air yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman. Nutrisi ini juga berfungsi
sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu setelah anak ayam menetas. Berat
telur yang seragam akan menghasilkan anak ayam hasil penetasan yang seragam
pula.
Telur
terdiri dari beberapa komponen dimana setiap komponen memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam proses perkembangan
embrio. Hal ini sesuai dengan pendapat Science (2011) yang menyatakan bahwa
telur memiliki beberapa komponen utama, setiap komponen memiliki fungsi
masing-masing.Kerabang telur berfungsi sebagai pelindung embrio dari gangguan
luar yang tidak menguntungkan.Kerabang juga berfungsi melindungi putih telur
dan kuning telur agar tidak keluar dan terkontaminasi darizat-zat yang tidak
diinginkan.
Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Putra (2009) bahwa, kerabang telur memiliki
pori-pori sebagai media lalu lintas gas oksigen(O2) dan karbon
dioksida (CO2) selama proses penetasan. Oksigen diperlukan embrio
untuk proses pernapasan dan perkembangannya.Putih telur merupakan tempat
penyimpanan air dan zat makanan didalam telur yang digunakan untuk pertumbuhan
embrio. Kuning telur merupakan bagian telur yang bulatbentuknya, berwarna
kuning sampai jingga dan terdapat di tengah-tengah telur.Kuning telur
mengandungzat lemak yang penting bagi pertumbuhan embrio.Di dalam kuning telur
terdapat sel benih yang menjadiunsur utama embrio unggas.Pada bagian ujung yang
tumpul dari telur terdapat rongga udara yangberguna untuk bernapas bagi embrio
selama periode penetasan, yang berlangsung rata-rata 20-22 hari.
Selain
itu faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi daya tetas seperti keretakan,
kesalahan pendeteksi saat peneropongan dan lamanya telur saat diseleksi diluar
mesin tetas.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan bahawa suhu dan kelembaban mempengaruhi
dalam penetasan telur ayam arab yang ditetaskan menggunakan mesin tetas. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam
telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio
tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Suhu
yang terlalu tinggi akan mempengaruhi jumlah telur fertil
mati dan mempengaruhi
daya tetas telur. Suhu dan kelembaban mempunyai korelasi yang berhubungan dengan daya
tetas telur. Temperatur
mempengaruhi kelembaban relatif dan berkontribusi terhadap penguapan air selama
inkubasi, korelasi temperatur dan kelembaban harus dilakukan pengawasan secara
kontinyu
selama proses inkubasi berlangsung, dikarenakan penguapan kadar air didalam
embrio tidak dapat di awasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin
Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal Litbang
Pertanian 27 (3):99-105.
Brown, T.L., et al.. 2004.
Chemistry The Central Science. Edisi
Kedelapan. New Jersey : Prentice Hall
Internasional.
Cotton, F. A. Dan Wilkinson, G. 1989. Kimia Anorganik Dasar.
Alih bahasa Sahati Suharto.
Jakarta : UI-Press.
Cullison, A. E.
1979. Feed and Feeding Animal Nutrition.
India : Prentice-Hall of India. pp.81-84
Darmono.
1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk
Hidup. UI-Press. Jakarta.
Darmono dan S. Bahri. 1990b. Status beberapa mineral makro (Na,
K, Ca, Mg,dan P) dalam saliva dan serum sapi di Kalimantan Selatan.
Penyakit Hewan 22(40): 138-142.
Hadiwiyoto,
S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian
Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta: Liberty.
Helferich W,
Winter CK. 2001.Food Toxicology. CRC
Press. Boca Raton.
Kamal,
M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak.
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Petemakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, hal. 8 I – 86.
Keenan,
C.W., Kleinfelter, D.C., & Wood, J.H.. 1989. Ilmu Kimia untuk Universitas:
Edisi Keenam. Jakarta :
Erlangga.
Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. van Nostrand
Reinhold, New York.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. USA :
CRC Press, Boca Raton.
Sinurat, A.P .,
K. Zulkarnain, and Bestari. 1992 . A
method of measuring metabolizable energy of feed stuffs for ducks . Ibnu dan
Peternakan 5 (1) : 28-30.
Wilson, C.B.,
G.E. Erickson, T.J. Klopfenstein, R.J. Rasby, D.C. Adams and G. Rush. 2004. A Review of Corn Stalk Grazing on
Animal Performans and Crops Yield.
Nebraska Beef Cattle Report. pp. 13 – 15. http: //digitalcommons.unl.edu/animalscinber/215. (21 Maret 2014).
Winarno,
F.G., 1996. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.